PENDIDIKAN & EKONOMI

Melemahnya Rupiah, Dampak terhadap Perekonomian dan Pariwisata Bali

 Sabtu, 21 Desember 2024 | Dibaca: 1296 Pengunjung


Puputan.com, Denpasar. 

Oleh : Analisis Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE.,MM. (Dekan Fak. Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar)


Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali menunjukkan pelemahan signifikan, menembus angka Rp 16.254 per dolar AS. Angka ini menjadi perhatian khusus bagi perekonomian Bali, yang sangat bergantung pada sektor pariwisata dan perdagangan internasional. Dampak dari melemahnya rupiah ini dirasakan luas, baik oleh pelaku usaha maupun masyarakat lokal. Di tingkat global, penguatan dolar AS menjadi faktor utama yang mendorong pelemahan rupiah. Kebijakan moneter ketat oleh Federal Reserve dan data ekonomi Amerika Serikat yang positif menyebabkan arus modal global beralih ke aset berbasis dolar. Sementara itu, di Indonesia, defisit neraca perdagangan turut memperburuk situasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit sebesar USD 1,2 miliar pada Oktober 2024, akibat penurunan ekspor komoditas utama seperti batu bara dan minyak sawit.
Bali sebagai destinasi wisata internasional, tidak luput dari dampak pelemahan rupiah ini. Di satu sisi, melemahnya rupiah memberikan keuntungan kompetitif bagi sektor pariwisata. Wisatawan asing mendapatkan nilai tukar yang lebih menguntungkan, yang berpotensi meningkatkan jumlah kunjungan. Data dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali menunjukkan peningkatan wisatawan mancanegara sebesar 12% pada kuartal terakhir 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan biaya hidup yang lebih murah bagi wisatawan, pengeluaran mereka di Bali juga cenderung meningkat, memberikan angin segar bagi pelaku usaha pariwisata.
Namun, di sisi lain, pelemahan rupiah membawa tantangan besar bagi sektor ekonomi lainnya. Pelaku usaha yang mengandalkan bahan baku impor, seperti industri hotel dan restoran, menghadapi kenaikan biaya operasional. Harga barang-barang impor seperti makanan dan minuman premium melonjak, yang memaksa pengusaha untuk menaikkan harga atau menyerap biaya tambahan. Hal ini dapat berdampak pada daya saing Bali sebagai destinasi wisata kelas dunia.
Masyarakat Bali juga merasakan dampak dari melemahnya rupiah melalui kenaikan harga kebutuhan pokok yang sebagian besar masih diimpor. Inflasi di daerah ini diperkirakan mencapai 4,7% pada akhir tahun 2024, di atas rata-rata nasional. Kondisi ini membuat masyarakat perlu menyesuaikan pola konsumsi untuk mengimbangi lonjakan harga. Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis untuk menahan pelemahan rupiah, seperti intervensi di pasar valuta asing dan pengetatan kebijakan moneter. Namun, upaya ini perlu didukung oleh pemerintah daerah Bali melalui promosi pariwisata yang lebih agresif dan diversifikasi ekonomi. Bali tidak hanya harus mengandalkan pariwisata, tetapi juga memperkuat sektor-sektor lain seperti ekonomi kreatif dan pertanian berbasis ekspor.
Di tengah ‘badai ekonomi’ ini, pelaku usaha dan masyarakat Bali diimbau untuk tetap optimis dan adaptif. Pelemahan rupiah bukan hanya tantangan, tetapi juga peluang untuk meningkatkan daya saing pariwisata dan memperkuat ketahanan ekonomi lokal. Dengan kerja sama semua pihak, Bali dapat terus menjadi destinasi utama yang menarik di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian. (***)


TAGS :